Powered by Blogger

Bab 13> Yang Panjang dan Lagi-Lagi Ada Perangnya
oleh Dodol Surodol pada 11:11 AM

Sejak perjumpaan yang tidak disangka-sangka dengan Joe Kaki Kayu, La Traviata merasa ada yang berubah pada dirinya. Ia tidak henti-hentinya mengenang masa lalu mereka berdua. Bukan sekali dua kali ia membayangkan apa yang akan terjadi seandainya ini dan itu. Pikirannya sering kali melayang ke suatu hal yang menurutnya konyol namun tak kuasa dilawannya: apa yang disediakan masa depan bagi La Traviata dan Joe Kaki Kayu ketika sekarang nasib telah mempertemukan mereka kembali.

Koreksi, ini bukanlah pekerjaan nasib. Joe Kaki Kayu khusus mencarinya dan itu membuat La Traviata terkadang tersenyum sendiri. Di pihak lain, seandainya Tyo Mata Satu tidaklah terluka parah dan butuh bantuan...

La Traviata mengangkat bahu. Mungkin yang harus dilakukannya sekarang adalah menikmati yang sedang terjadi tanpa komplikasi pikiran akan yang telah maupun belum terjadi.

Sore itu ia sedang bersiap-siap untuk membuka restoran ketika Bon Avatar berseru dari luar. "La! Ada yang mencarimu."

Hati La Traviata melonjak. Joe! Dengan perasaan berbunga, ia bergegas mematut diri di depan cermin dan berlari kecil menuju pintu masuk. Senyum manis dipasangnya siap untuk menyambut sang bajak laut.

Pippi dan Julo berdiri di luar. "Oh," tanpa sadar perempuan itu memperlihatkan kekecewaannya. Kedua laki-laki itu mengangguk. La Traviata berusaha menampilkan senyuman ramah.

"Kami membawa pesan dari Joe," kata Julo. "Namaku Julo, kita belum berkenalan." La Traviata mengangguk. Joe pernah sekilas menyebut pria Prancis itu. "Joe telah memutuskan untuk membawa Tyo meninggalkan Pulau Api malam ini."

Hati La Traviata serasa dihantam sesuatu yang keras. Pria keparat itu telah memutuskan untuk meninggalkannya lagi. Dan lagi-lagi tanpa berani menampakkan mukanya.

"Tapi..." perempuan itu merasakan getaran dalam suaranya. Ia berdehem dan dalam benaknya menampar dirinya sendiri. "Mengapa begitu mendadak? Bagaimana dengan rencana kita?" Kita! Perempuan tolol, tidak ada lagi 'kita.'

Julo dan Pippi bertukar pandangan. La Traviata mendapat kesan bahwa mereka berdua pun tidak terlalu paham akan rencana Joe Kaki Kayu.

"Joe merasa tidak aman. Sudah terlalu banyak yang tahu tentang keberadaan seorang bajak laut yang terluka di Pulau Api," kata Julo. "Kami sangat berterima kasih atas pertolongan temanmu Mayangsari. Namun kami tidak dapat mengambil risiko."

"Begitu." La Traviata berpikir keras. Itukah alasan sebenarnya? "Lalu, ke mana kalian hendak pergi?"

Lagi-lagi kedua pria di hadapannya saling pandang. "Suatu tempat," jawab Julo akhirnya. "Maksudku," pria itu merasakan betapa tidak meyakinkannya jawabannya dan berusaha menjelaskan, "akan lebih baik jika hanya kami saja yang tahu. Maaf."

La Traviata mengangguk. "Aku mengerti." Terkutuklah kau, Joe Kaki Kayu. "Baiklah. Terima kasih atas kedatangan kalian. Sampaikan salamku untuk Tyo." Perempuan itu terdiam sejenak. "Dan Joe."

...

Sepeninggal kedua bajak laut itu, La Traviata tak habis pikir. Ia merasa yakin ada sesuatu yang telah terjadi. Biarpun ia sendiri telah memaki-maki Joe Kaki Kayu, sebagian dari dirinya merasa itu bukanlah karakter lelaki itu. Perempuan itu melihat ke langit. Masih ada waktu sebelum saatnya membuka restoran. Ia berseru ke dalam, "Bon! Aku pergi sebentar. Aku akan kembali secepatnya."

Rumah Raden Bambang dan Mayangsari nampak sepi. Sebagai seorang pedagang kaya, jadual Raden Bambang tidak selalu dapat diduga. Ia bisa saja tinggal di Bantul selama berhari-hari dan suatu hari pergi berlayar selama berbulan-bulan. Namun jika sedang berada di Bantul, lelaki itu jarang keluar rumah.

Pintu terbuka sebelum La Traviata sempat mengetuk. Raden Bambang keluar dengan marah. Ia hampir tidak melihat La Traviata dan nyaris menabrak perempuan itu. "La," katanya singkat, sebelum bergegas pergi. Ia bahkan tidak menutup pintu kembali.

Ragu-ragu, La Traviata masuk ke dalam rumah. "Mayang," panggilnya.

"Apa?" Mayangsari muncul dari dalam kamar, rambut dan wajahnya acak-acakan, seolah-olah baru saja menangis. Ia nampak terkejut melihat La Traviata ada di rumahnya. "La..."

"Apa yang terjadi, Mayang? Aku sempat bertemu suamimu, ia kelihatan kalut sekali. Kalian bertengkar? Maaf kalau ini bukan urusanku."

"La!" tiba-tiba Mayangsari seperti menyadari sesuatu. "Kita harus memperingatkan teman-temanmu! Tyo dan Joe dan yang lain."

"Ada apa, Mayang?" La Traviata nampak cemas.

"Suamiku yang bodoh itu. Ia..." sejenak perempuan itu ragu-ragu, "...ia berhasil mengorek keterangan dariku bahwa Tyo Mata Satulah yang kemarin kutemui. Setelah itu rupanya ia melaporkan keberadaan mereka di Pulau Api. Kau tahu kapal Laksamana Robben sedang berlabuh di pulau utama?"

La Traviata mengangguk. Laksamana Pertama Kerajaan Belanda itu terkenal sangat membenci Tyo Mata Satu karena bajak laut itu telah terlalu sering mengalahkan orang-orang terbaik Robben. Belum lama ini Laksamana Robben menawarkan sejumlah besar uang bagi mereka yang bisa memberikan informasi tentang Tyo Mata Satu. Hidup atau mati, demikian pengumuman yang ditempelkan di mana-mana.

Mayangsari membuat gerakan dengan tangannya, menunjukkan ketidakberdayaannya. "Maafkan aku, La..."

La Traviata berpikir cepat. Jadi benarlah firasat Joe Kaki Kayu. "Kau tahu kapan suamimu melapor?"

"Sepertinya semalam."

"Kau mau menemaniku, Mayang? Aku hendak ke Pulau Api, memperingatkan mereka. Namun aku tidak tahu tempat persembunyian mereka. Kau pernah ke sana."

Tanpa pikir panjang, Mayangsari mengangguk dan masuk ke kamar. Beberapa saat kemudian ia keluar dengan penampilan yang lebih rapi. Perempuan itu menyandang tas obat-obatannya. "Marilah!"

...

Pulau Api nampak sunyi ketika perahu layar kecil La Traviata dan Mayangsari menyentuh pasir pantainya. La Traviata sangat mengenal seluk beluk pantai pulau itu, hasil pelariannya yang cukup sering selama bertahun-tahun. Namun pantai yang landai dan cocok untuk tempat berlabuh perahu-perahu kecil itu hanyalah sebagian dari Pulau Api, bagian yang menghadap ke pantai timur Mooi Hindie. Sebagian besar dari pulau itu masih berupa hutan yang cukup lebat. Di sisi lain pulau, sisi yang menghadap ke lautan lepas, adalah tebing yang sangat curam. Di sisi inilah Tyo Mata Satu terbaring.

"Kau masih ingat jalannya?" tanya La Traviata. Mayangsari mengangguk dan mereka pun mulai berjalan merintis semak-semak yang singkat kemudian berubah menjadi pepohonan tinggi berdaun lebat. Kedua perempuan itu menggenggam parang yang benar-benar berguna untuk menebas semak-semak yang menghalangi. Akhirnya mereka menemukan jalan setapak yang menuju tempat persembunyian para bajak laut dan langkah mereka pun menjadi sedikit lebih mudah.

Perjalanan itu memakan waktu cukup lama dan ketika mereka mendekati lokasi pondok Tyo Mata Satu, hari mulai gelap. Tiba-tiba La Traviata berhenti melangkah. "Ada apa?" tanya Mayangsari.

"Ada yang aneh," jawab La Traviata. Perempuan itu menegakkan badan dan menajamkan telinga. "Kau dengar itu?"

Mayangsari mendengarkan dengan serius. "Aku tidak mendengar apa-apa, La. Hanya kesunyian belaka."

"Tepat. Tempat ini terlalu sunyi. Tidak ada bunyi-bunyian hutan yang biasanya. Seolah-olah ada yang membuat hewan-hewan kecil yang ada di sini menyingkir." Mereka maju perlahan-lahan. Tak lama mereka sampai di dataran sedikit lapang tempat pondok Tyo berada. La Traviata memandang sekelilingnya.

"Perasaanku tidak enak," katanya. "Seharusnya salah satu dari mereka berjaga di sekitar pondok."

"Mungkin ada baiknya aku mengawasi di sini?" kata Mayangsari. "Sementara kau pergi ke pondok itu untuk memperingatkan mereka." Setelah berpikir sejenak, La Traviata menyetujui. Perempuan itu berjalan dengan tetap waspada ke arah pondok.

Belum lagi tangannya menyentuh pintu pondok, kesunyian pulau itu terpecah oleh seruan dan gemerisik semak di belakangnya. La Traviata menoleh kaget.

Dari dalam hutan muncul belasan serdadu Kerajaan Belanda, masing-masing dengan senapan di tangan. La Traviata melihat ke arah tempat persembunyian Mayangsari, yang tidak jauh dari tempat munculnya para serdadu itu. Gadis itu tidak terlihat.

"Berhenti!" salah satu dari prajurit itu memerintahkan. La Traviata menurut dan menjatuhkan parang di tangannya. Beberapa orang dari mereka berjalan mendekati perempuan itu. La Traviata memutar otak. Tidak ada gunanya ia melawan. Tapi di manakah Joe dan kawan-kawan? Tidak ada gerakan di dalam pondok di belakangnya. Seorang yang sepertinya adalah pemimpin para serdadu itu berhenti beberapa langkah di hadapan La Traviata.

"Siapa kau? Di mana Tyo Mata Satu?"

"Namaku La Traviata. Aku mendengar bahwa Tyo Mata Satu ada di pulau ini. Aku memutuskan untuk memeriksa karena kudengar ada hadiah besar atas kepalanya." Tidak percuma perempuan itu dibesarkan di antara orang-orang Guiseppe Verdi, ia dapat berbohong dengan lancar jika diperlukan.

Pemimpin serdadu itu ragu-ragu. "Beberapa lama kami mengepung pondok ini. Tidak ada tanda-tanda kehidupan." Ia menggerakkan tangan ke arah sisa-sisa api unggun dan dedaunan bekas alas tempat tidur di samping pondok. "Sepertinya mereka telah lama pergi."

Aku rasa tidak, pikir La Traviata. Julo dan Pippi baru saja menemuinya sore itu, tidak mungkin saat ini mereka telah berlayar. Lagipula, mereka berkata 'malam ini.' Perempuan itu diam saja.

Pemimpin serdadu itu -- seorang letnan, menurut tanda pangkatnya -- mengambil keputusan. "Kau ikut kami." Ia melangkah maju. Tiba-tiba sesuatu mendesing lewat dan ia berteriak kesakitan, lalu jatuh sambil memegangi lehernya.

La Traviata menatap ngeri. Di leher letnan itu tertancap sebatang anak panah. Darah mengalir dari kerongkongannya. Sekejap kemudian ia berhenti bergerak.

Terjadi kepanikan di antara anak buahnya. Sebagian berusaha mencari sesuatu untuk berlindung, sebagian bertiarap. Tidak ada yang tahu pasti dari mana anak panah itu ditembakkan. Beberapa mulai menembak membabi buta ke arah semak-semak di sisi pondok. Satu lagi anak panah mendesing lewat di depan mata La Traviata dan satu lagi serdadu roboh. Perempuan itu secara naluriah bergerak ke arah pondok.

"Hei!" salah seorang serdadu membidikkan senapannya ke arah La Traviata. Detik berikutnya sebatang anak panah menghujam dadanya. Kini serdadu yang lain mulai dapat mengira-ngira asal serangan itu dan mereka membalas dengan tembakan.

"La!" dari arah berlawanan muncullah Julo Delifrance. Lelaki itu melepaskan tembakan dengan pistol di tangannya, merobohkan dua orang serdadu. Ia memberi isyarat agar La Traviata berlari ke arahnya. Perempuan itu menurut. Tak lama mereka pun berlari di balik pepohonan. Peluru berdesing tak jauh dari keduanya.

Julo terus berlari tanpa berkata apa-apa. Lelaki itu bergerak dengan lincah di sela-sela pepohonan. La Traviata merasakan bagian bawah roknya tercabik-cabik oleh duri dan batang pohon sementara ia berusaha keras untuk tidak tertinggal. Di belakang mereka gemerisik dedaunan dan dahan patah memberi tanda bahwa beberapa serdadu melakukan pengejaran.

Tiba-tiba Julo berbelok dan mulai berlari ke arah yang berbeda. La Traviata hampir saja kehilangan pria itu. Tak lama mereka berganti arah lagi. Sejurus kemudian, Julo menarik lengan perempuan itu dan mendorongnya ke balik sebatang pohon besar. Batang pohon itu berongga, cukup untuk seseorang bertubuh kecil. Dengan tangannya Julo menyuruh La Traviata bersembunyi di dalam. Tanpa membuang waktu, ia sendiri menghilang di balik kelebatan hutan.

Dari tempat persembunyiannya, La Traviata dapat mendengar teriakan-teriakan dan letupan-letupan senapan di kejauhan. Perempuan itu menutup kuping. Sudah lama ia tidak mengalami pertempuran seperti ini. Dan tiba-tiba ia menyadari bahwa kekerasan yang dulu begitu akrab dengannya kini mulai membuatnya tidak nyaman. Perkelahian di restoran dan tempat minum-minum ia masih bisa menghadapi, namun bukan pertumpahan darah seperti ini.

La Traviata tidak tahu sudah berapa lama ia meringkuk di dalam rongga pohon itu. Sekonyong-konyong Julo sudah ada di depannya. Suara pertempuran masih terdengar tapi tidak lagi begitu dekat. Masih tanpa berucap apa-apa, lelaki Prancis itu menggamitnya dan setelah mengambil beberapa saat untuk melancarkan peredaran darahnya kembali, La Traviata mulai berlari lagi. Kini ia dapat mengira-ngira bahwa mereka menuju ke sisi pulau yang menghadap ke laut lepas.

Mereka keluar dari hutan dan tiba di suatu dataran yang menjorok ke atas laut. La Traviata memandang berkeliling. "Apa sekarang?" tanyanya.

Julo menunjuk ke arah laut. "Kita melompat."

Belum sempat La Traviata menyahut, seseorang berseru tajam, "Merunduk, La!" Secara naluriah perempuan itu menjatuhkan diri. Sebuah peluru lewat tidak jauh dari kepalanya dan menghantam pundak Julo. Lelaki itu mengumpat. Letusan lain terdengar. La Traviata berpaling, tepat pada waktunya untuk melihat sesosok tubuh roboh di tepi hutan. Tidak jauh dari tempatnya dan Julo terbaring, Joe Kaki Kayu berdiri dengan pistol berasap.

Bajak laut itu bergerak cukup lincah mengingat kaki palsunya. Ia mendapatkan La Traviata dan Julo. "Kalian tidak apa-apa?" La Traviata mengangguk. Julian Delifrance menggeram. "Hanya terserempet," katanya. Lelaki itu nampak kesal dengan dirinya sendiri karena kurang cepat menghindar.

"Jangan buang waktu." Joe Kaki Kayu membantu La Traviata berdiri. Julo dalam sekejap telah berada di akhir dataran. Tanpa ragu-ragu, bajak laut itu melompat melewati sisi tebing, terjun ke laut.

"Joe, kau menyelamatkanku lagi," La Traviata menatap lelaki di sampingnya. "Kalau kau tidak berteriak tadi, serdadu itu pasti telah membunuhku."

Joe menatapnya. "Bukan serdadu yang menembakmu tadi." Mereka tiba di sisi tebing.

"Bukan? Lalu siapa?"

"Mayangsari," jawab Joe singkat. "Lompat, La."

0 comments

0 Comments:

Post a Comment

<< Home