Powered by Blogger

Bab 13> Yang Panjang dan Lagi-Lagi Ada Perangnya
oleh Dodol Surodol pada 11:11 AM

Sejak perjumpaan yang tidak disangka-sangka dengan Joe Kaki Kayu, La Traviata merasa ada yang berubah pada dirinya. Ia tidak henti-hentinya mengenang masa lalu mereka berdua. Bukan sekali dua kali ia membayangkan apa yang akan terjadi seandainya ini dan itu. Pikirannya sering kali melayang ke suatu hal yang menurutnya konyol namun tak kuasa dilawannya: apa yang disediakan masa depan bagi La Traviata dan Joe Kaki Kayu ketika sekarang nasib telah mempertemukan mereka kembali.

Koreksi, ini bukanlah pekerjaan nasib. Joe Kaki Kayu khusus mencarinya dan itu membuat La Traviata terkadang tersenyum sendiri. Di pihak lain, seandainya Tyo Mata Satu tidaklah terluka parah dan butuh bantuan...

La Traviata mengangkat bahu. Mungkin yang harus dilakukannya sekarang adalah menikmati yang sedang terjadi tanpa komplikasi pikiran akan yang telah maupun belum terjadi.

Sore itu ia sedang bersiap-siap untuk membuka restoran ketika Bon Avatar berseru dari luar. "La! Ada yang mencarimu."

Hati La Traviata melonjak. Joe! Dengan perasaan berbunga, ia bergegas mematut diri di depan cermin dan berlari kecil menuju pintu masuk. Senyum manis dipasangnya siap untuk menyambut sang bajak laut.

Pippi dan Julo berdiri di luar. "Oh," tanpa sadar perempuan itu memperlihatkan kekecewaannya. Kedua laki-laki itu mengangguk. La Traviata berusaha menampilkan senyuman ramah.

"Kami membawa pesan dari Joe," kata Julo. "Namaku Julo, kita belum berkenalan." La Traviata mengangguk. Joe pernah sekilas menyebut pria Prancis itu. "Joe telah memutuskan untuk membawa Tyo meninggalkan Pulau Api malam ini."

Hati La Traviata serasa dihantam sesuatu yang keras. Pria keparat itu telah memutuskan untuk meninggalkannya lagi. Dan lagi-lagi tanpa berani menampakkan mukanya.

"Tapi..." perempuan itu merasakan getaran dalam suaranya. Ia berdehem dan dalam benaknya menampar dirinya sendiri. "Mengapa begitu mendadak? Bagaimana dengan rencana kita?" Kita! Perempuan tolol, tidak ada lagi 'kita.'

Julo dan Pippi bertukar pandangan. La Traviata mendapat kesan bahwa mereka berdua pun tidak terlalu paham akan rencana Joe Kaki Kayu.

"Joe merasa tidak aman. Sudah terlalu banyak yang tahu tentang keberadaan seorang bajak laut yang terluka di Pulau Api," kata Julo. "Kami sangat berterima kasih atas pertolongan temanmu Mayangsari. Namun kami tidak dapat mengambil risiko."

"Begitu." La Traviata berpikir keras. Itukah alasan sebenarnya? "Lalu, ke mana kalian hendak pergi?"

Lagi-lagi kedua pria di hadapannya saling pandang. "Suatu tempat," jawab Julo akhirnya. "Maksudku," pria itu merasakan betapa tidak meyakinkannya jawabannya dan berusaha menjelaskan, "akan lebih baik jika hanya kami saja yang tahu. Maaf."

La Traviata mengangguk. "Aku mengerti." Terkutuklah kau, Joe Kaki Kayu. "Baiklah. Terima kasih atas kedatangan kalian. Sampaikan salamku untuk Tyo." Perempuan itu terdiam sejenak. "Dan Joe."

...

Sepeninggal kedua bajak laut itu, La Traviata tak habis pikir. Ia merasa yakin ada sesuatu yang telah terjadi. Biarpun ia sendiri telah memaki-maki Joe Kaki Kayu, sebagian dari dirinya merasa itu bukanlah karakter lelaki itu. Perempuan itu melihat ke langit. Masih ada waktu sebelum saatnya membuka restoran. Ia berseru ke dalam, "Bon! Aku pergi sebentar. Aku akan kembali secepatnya."

Rumah Raden Bambang dan Mayangsari nampak sepi. Sebagai seorang pedagang kaya, jadual Raden Bambang tidak selalu dapat diduga. Ia bisa saja tinggal di Bantul selama berhari-hari dan suatu hari pergi berlayar selama berbulan-bulan. Namun jika sedang berada di Bantul, lelaki itu jarang keluar rumah.

Pintu terbuka sebelum La Traviata sempat mengetuk. Raden Bambang keluar dengan marah. Ia hampir tidak melihat La Traviata dan nyaris menabrak perempuan itu. "La," katanya singkat, sebelum bergegas pergi. Ia bahkan tidak menutup pintu kembali.

Ragu-ragu, La Traviata masuk ke dalam rumah. "Mayang," panggilnya.

"Apa?" Mayangsari muncul dari dalam kamar, rambut dan wajahnya acak-acakan, seolah-olah baru saja menangis. Ia nampak terkejut melihat La Traviata ada di rumahnya. "La..."

"Apa yang terjadi, Mayang? Aku sempat bertemu suamimu, ia kelihatan kalut sekali. Kalian bertengkar? Maaf kalau ini bukan urusanku."

"La!" tiba-tiba Mayangsari seperti menyadari sesuatu. "Kita harus memperingatkan teman-temanmu! Tyo dan Joe dan yang lain."

"Ada apa, Mayang?" La Traviata nampak cemas.

"Suamiku yang bodoh itu. Ia..." sejenak perempuan itu ragu-ragu, "...ia berhasil mengorek keterangan dariku bahwa Tyo Mata Satulah yang kemarin kutemui. Setelah itu rupanya ia melaporkan keberadaan mereka di Pulau Api. Kau tahu kapal Laksamana Robben sedang berlabuh di pulau utama?"

La Traviata mengangguk. Laksamana Pertama Kerajaan Belanda itu terkenal sangat membenci Tyo Mata Satu karena bajak laut itu telah terlalu sering mengalahkan orang-orang terbaik Robben. Belum lama ini Laksamana Robben menawarkan sejumlah besar uang bagi mereka yang bisa memberikan informasi tentang Tyo Mata Satu. Hidup atau mati, demikian pengumuman yang ditempelkan di mana-mana.

Mayangsari membuat gerakan dengan tangannya, menunjukkan ketidakberdayaannya. "Maafkan aku, La..."

La Traviata berpikir cepat. Jadi benarlah firasat Joe Kaki Kayu. "Kau tahu kapan suamimu melapor?"

"Sepertinya semalam."

"Kau mau menemaniku, Mayang? Aku hendak ke Pulau Api, memperingatkan mereka. Namun aku tidak tahu tempat persembunyian mereka. Kau pernah ke sana."

Tanpa pikir panjang, Mayangsari mengangguk dan masuk ke kamar. Beberapa saat kemudian ia keluar dengan penampilan yang lebih rapi. Perempuan itu menyandang tas obat-obatannya. "Marilah!"

...

Pulau Api nampak sunyi ketika perahu layar kecil La Traviata dan Mayangsari menyentuh pasir pantainya. La Traviata sangat mengenal seluk beluk pantai pulau itu, hasil pelariannya yang cukup sering selama bertahun-tahun. Namun pantai yang landai dan cocok untuk tempat berlabuh perahu-perahu kecil itu hanyalah sebagian dari Pulau Api, bagian yang menghadap ke pantai timur Mooi Hindie. Sebagian besar dari pulau itu masih berupa hutan yang cukup lebat. Di sisi lain pulau, sisi yang menghadap ke lautan lepas, adalah tebing yang sangat curam. Di sisi inilah Tyo Mata Satu terbaring.

"Kau masih ingat jalannya?" tanya La Traviata. Mayangsari mengangguk dan mereka pun mulai berjalan merintis semak-semak yang singkat kemudian berubah menjadi pepohonan tinggi berdaun lebat. Kedua perempuan itu menggenggam parang yang benar-benar berguna untuk menebas semak-semak yang menghalangi. Akhirnya mereka menemukan jalan setapak yang menuju tempat persembunyian para bajak laut dan langkah mereka pun menjadi sedikit lebih mudah.

Perjalanan itu memakan waktu cukup lama dan ketika mereka mendekati lokasi pondok Tyo Mata Satu, hari mulai gelap. Tiba-tiba La Traviata berhenti melangkah. "Ada apa?" tanya Mayangsari.

"Ada yang aneh," jawab La Traviata. Perempuan itu menegakkan badan dan menajamkan telinga. "Kau dengar itu?"

Mayangsari mendengarkan dengan serius. "Aku tidak mendengar apa-apa, La. Hanya kesunyian belaka."

"Tepat. Tempat ini terlalu sunyi. Tidak ada bunyi-bunyian hutan yang biasanya. Seolah-olah ada yang membuat hewan-hewan kecil yang ada di sini menyingkir." Mereka maju perlahan-lahan. Tak lama mereka sampai di dataran sedikit lapang tempat pondok Tyo berada. La Traviata memandang sekelilingnya.

"Perasaanku tidak enak," katanya. "Seharusnya salah satu dari mereka berjaga di sekitar pondok."

"Mungkin ada baiknya aku mengawasi di sini?" kata Mayangsari. "Sementara kau pergi ke pondok itu untuk memperingatkan mereka." Setelah berpikir sejenak, La Traviata menyetujui. Perempuan itu berjalan dengan tetap waspada ke arah pondok.

Belum lagi tangannya menyentuh pintu pondok, kesunyian pulau itu terpecah oleh seruan dan gemerisik semak di belakangnya. La Traviata menoleh kaget.

Dari dalam hutan muncul belasan serdadu Kerajaan Belanda, masing-masing dengan senapan di tangan. La Traviata melihat ke arah tempat persembunyian Mayangsari, yang tidak jauh dari tempat munculnya para serdadu itu. Gadis itu tidak terlihat.

"Berhenti!" salah satu dari prajurit itu memerintahkan. La Traviata menurut dan menjatuhkan parang di tangannya. Beberapa orang dari mereka berjalan mendekati perempuan itu. La Traviata memutar otak. Tidak ada gunanya ia melawan. Tapi di manakah Joe dan kawan-kawan? Tidak ada gerakan di dalam pondok di belakangnya. Seorang yang sepertinya adalah pemimpin para serdadu itu berhenti beberapa langkah di hadapan La Traviata.

"Siapa kau? Di mana Tyo Mata Satu?"

"Namaku La Traviata. Aku mendengar bahwa Tyo Mata Satu ada di pulau ini. Aku memutuskan untuk memeriksa karena kudengar ada hadiah besar atas kepalanya." Tidak percuma perempuan itu dibesarkan di antara orang-orang Guiseppe Verdi, ia dapat berbohong dengan lancar jika diperlukan.

Pemimpin serdadu itu ragu-ragu. "Beberapa lama kami mengepung pondok ini. Tidak ada tanda-tanda kehidupan." Ia menggerakkan tangan ke arah sisa-sisa api unggun dan dedaunan bekas alas tempat tidur di samping pondok. "Sepertinya mereka telah lama pergi."

Aku rasa tidak, pikir La Traviata. Julo dan Pippi baru saja menemuinya sore itu, tidak mungkin saat ini mereka telah berlayar. Lagipula, mereka berkata 'malam ini.' Perempuan itu diam saja.

Pemimpin serdadu itu -- seorang letnan, menurut tanda pangkatnya -- mengambil keputusan. "Kau ikut kami." Ia melangkah maju. Tiba-tiba sesuatu mendesing lewat dan ia berteriak kesakitan, lalu jatuh sambil memegangi lehernya.

La Traviata menatap ngeri. Di leher letnan itu tertancap sebatang anak panah. Darah mengalir dari kerongkongannya. Sekejap kemudian ia berhenti bergerak.

Terjadi kepanikan di antara anak buahnya. Sebagian berusaha mencari sesuatu untuk berlindung, sebagian bertiarap. Tidak ada yang tahu pasti dari mana anak panah itu ditembakkan. Beberapa mulai menembak membabi buta ke arah semak-semak di sisi pondok. Satu lagi anak panah mendesing lewat di depan mata La Traviata dan satu lagi serdadu roboh. Perempuan itu secara naluriah bergerak ke arah pondok.

"Hei!" salah seorang serdadu membidikkan senapannya ke arah La Traviata. Detik berikutnya sebatang anak panah menghujam dadanya. Kini serdadu yang lain mulai dapat mengira-ngira asal serangan itu dan mereka membalas dengan tembakan.

"La!" dari arah berlawanan muncullah Julo Delifrance. Lelaki itu melepaskan tembakan dengan pistol di tangannya, merobohkan dua orang serdadu. Ia memberi isyarat agar La Traviata berlari ke arahnya. Perempuan itu menurut. Tak lama mereka pun berlari di balik pepohonan. Peluru berdesing tak jauh dari keduanya.

Julo terus berlari tanpa berkata apa-apa. Lelaki itu bergerak dengan lincah di sela-sela pepohonan. La Traviata merasakan bagian bawah roknya tercabik-cabik oleh duri dan batang pohon sementara ia berusaha keras untuk tidak tertinggal. Di belakang mereka gemerisik dedaunan dan dahan patah memberi tanda bahwa beberapa serdadu melakukan pengejaran.

Tiba-tiba Julo berbelok dan mulai berlari ke arah yang berbeda. La Traviata hampir saja kehilangan pria itu. Tak lama mereka berganti arah lagi. Sejurus kemudian, Julo menarik lengan perempuan itu dan mendorongnya ke balik sebatang pohon besar. Batang pohon itu berongga, cukup untuk seseorang bertubuh kecil. Dengan tangannya Julo menyuruh La Traviata bersembunyi di dalam. Tanpa membuang waktu, ia sendiri menghilang di balik kelebatan hutan.

Dari tempat persembunyiannya, La Traviata dapat mendengar teriakan-teriakan dan letupan-letupan senapan di kejauhan. Perempuan itu menutup kuping. Sudah lama ia tidak mengalami pertempuran seperti ini. Dan tiba-tiba ia menyadari bahwa kekerasan yang dulu begitu akrab dengannya kini mulai membuatnya tidak nyaman. Perkelahian di restoran dan tempat minum-minum ia masih bisa menghadapi, namun bukan pertumpahan darah seperti ini.

La Traviata tidak tahu sudah berapa lama ia meringkuk di dalam rongga pohon itu. Sekonyong-konyong Julo sudah ada di depannya. Suara pertempuran masih terdengar tapi tidak lagi begitu dekat. Masih tanpa berucap apa-apa, lelaki Prancis itu menggamitnya dan setelah mengambil beberapa saat untuk melancarkan peredaran darahnya kembali, La Traviata mulai berlari lagi. Kini ia dapat mengira-ngira bahwa mereka menuju ke sisi pulau yang menghadap ke laut lepas.

Mereka keluar dari hutan dan tiba di suatu dataran yang menjorok ke atas laut. La Traviata memandang berkeliling. "Apa sekarang?" tanyanya.

Julo menunjuk ke arah laut. "Kita melompat."

Belum sempat La Traviata menyahut, seseorang berseru tajam, "Merunduk, La!" Secara naluriah perempuan itu menjatuhkan diri. Sebuah peluru lewat tidak jauh dari kepalanya dan menghantam pundak Julo. Lelaki itu mengumpat. Letusan lain terdengar. La Traviata berpaling, tepat pada waktunya untuk melihat sesosok tubuh roboh di tepi hutan. Tidak jauh dari tempatnya dan Julo terbaring, Joe Kaki Kayu berdiri dengan pistol berasap.

Bajak laut itu bergerak cukup lincah mengingat kaki palsunya. Ia mendapatkan La Traviata dan Julo. "Kalian tidak apa-apa?" La Traviata mengangguk. Julian Delifrance menggeram. "Hanya terserempet," katanya. Lelaki itu nampak kesal dengan dirinya sendiri karena kurang cepat menghindar.

"Jangan buang waktu." Joe Kaki Kayu membantu La Traviata berdiri. Julo dalam sekejap telah berada di akhir dataran. Tanpa ragu-ragu, bajak laut itu melompat melewati sisi tebing, terjun ke laut.

"Joe, kau menyelamatkanku lagi," La Traviata menatap lelaki di sampingnya. "Kalau kau tidak berteriak tadi, serdadu itu pasti telah membunuhku."

Joe menatapnya. "Bukan serdadu yang menembakmu tadi." Mereka tiba di sisi tebing.

"Bukan? Lalu siapa?"

"Mayangsari," jawab Joe singkat. "Lompat, La."

0 comments






BAB 12 > Sama aja, cuma nambah panjang :D
oleh mamamolilo pada 4:20 PM

[Maaf, maaf, tante sibuk, jadi tidak bisa menulis entry tambahan cepat-cepat, ini dia tambahannya...]

"Kamu dari mana?" seru Raden Bambang Trihatmodjo ketika melihat istrinya pulang. Mayangsari hanya menoleh, sekilas. Ia bisa melihat api cemburu di mata Raden Bambang. Lalu ia melengos, menaiki undakan rumahnya. Baru beberapa langkah, tiba-tiba ia merasakan tangannya ditarik, tas yang berisi alat-alat dan ramuan-ramuan obat miliknya terjatuh, untung isinya tumpah berantakan di tanah.

Selalu begitu, kemanapun Mayangsari pergi, sang suami akan selalu menyambut, lebih tepatnya menghadang di depan pintu rumah, seolah-olah ia tidak mempunyai pekerjaan lain.

"Mengobati pasien." jawab Mayangsari singkat sambil menepiskan lengannya, sehingga genggaman tangan Raden Bambang terlepas. Ia merunduk, untuk meraih tasnya.
"Siapa?"
"Seorang bajak laut." jawabnya tidak perduli, ia terus berjalan masuk ke dalam rumah.
"Siapa?"
"Apa kamu tidak mendengar, Mas? Seorang Bajak Laut...." seru Mayangsari dari dalam rumah. Sejurus kemudian, ia mendengar pintu terbuka, Raden Bambang menyusul masuk ke dalam.
"iya, siapa namanya?"
"Penting?" Mayangsari berbalik, menatap sang suami dengan dagu sedikit menengadah, menunjukkan gesture menantang, menunggu Raden Bambang mengucapkan sesuatu, tapi tidak. Suaminya hanya diam, membisu. AKhirnya ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar.

Raden Bambang menghela nafas, berat. Banyak hal berkecamuk dalam benaknya. Dulu, ia menganggap mendapatkan Mayangsari sebagai istri adalah sebuah anugerah. Tapi melihat perangai istrinya yang kerap melawan, ia menjadi ragu.

Sementara di kamar, sambil meletakkan tas, Mayangsari teringat bajak laut yang tadi dirawatnya, Tyo Mata Satu. Bajak laut itu terlihat sangat payah - tapi itu tidak pernah menjadi masalah baginya, ia pernah menangani kasus yang lebih parah dari itu.

Sambil mengobati dan membalut luka Tyo Mata Satu, ingatan Mayangsari melayang-layang. Ia teringat akan peristiwa di saat ia menemukan Bon Avatar yang terluka parah, terdampar di pantai timur Mooi Hindie.

Ah Bon Avatar...

Mayangsari menggelengkan kepala; kenangan bersama Bon Avatar selalu menyakitkan baginya.

"Mayang..." terdengar suara Raden Bambang. Mayangsari menoleh, laki-laki itu berdiri di ambang pintu.
"Kenapa?" Mayangsari memutuskan untuk tidak bersikap ketus lagi.
"La Traviata di luar, mencari kamu..." jawab Raden Bambang singkat, lalu menghilang di balik pintu.

La Traviata!

Mayangsari merasa geram. Hatinya bergejolak setiap mendengar nama itu. Cukup menyiksa juga berpura-pura bersahabat, padahal setiap berdekatan dengan La Traviata, rasanya ia ingin mencabik-cabik dan melumat perempuan itu.

Mayangsari keluar dari kamar, La Traviata ada di sana, di ruang tamu, membelakanginya, Perempuan itu sedang menatap foto pernikahan Mayangsari dan Raden Bambang.

"Ehm.." Mayangsari berdehem, La Traviata menoleh.
"May... bagaimana keadaan Tyo mata satu?" tanyanya sambil menghampiri Mayangsari. La Traviata meraih lengan Mayangsari dan menggenggamnya.
"jangan kuatir, dalam waktu 2 hari, ia akan pulih."
"Oh.. terima kasih..." La Traviata tersenyum lebar.

Sebenarnya ada pertanyaan yang menganggu hati Mayangsari : Apa hubungan antara La Traviata dan Tyo Mata Satu?

"La.."tidak tahan, akhirnya Mayangsari memutuskan untuk bertanya.
"Ya?"
"Mereka itu kawan lamamu?"
"Iya.. ehm.. sebenarnya..." La Traviata menahan bibirnya, membuat Mayangsari gemas.

Ayolah, katakan sesuatu! - seru Mayangsari dalam hati.

"Ehm, saya percaya kamu, May......" kata La Traviata lirih; tapi itu menyiratkan bahwa ia akan menceritakan sebuah rahasia masa lalu.
"Kamu bisa percaya saya, La.." Mayangsari tersenyum palsu.

Lalu meluncurlah cerita mengenai hubungan La Traviata, dengan.. Joe kaki Kayu.

Ini lebih baik dari yang saya pikir - Mayangsari mendengarakan dengan seksama, mencatat setiap detil cerita La Traviata. Tadinya ia berpikir hubungan La Traviata dan para Bajak Laut itu hanya sebatas pertemanan, karena bukan rahasia lagi, bahwa La Traviata dibesarkan di lingkungan bajak laut.

"Yah begitulah, May...." La Traviata mengakhiri ceritanya.
"Wah, saya tidak menyangka..."
"Jangan sebarkan pada siapa pun... terutama Bon Avatar..."
"Saya bersumpah!" seru Mayangsari.... sambil menyilangkan jari telunjuk dan tengahnya di belakang punggungnya.

"Terima kasih banyak.. saya sangat menghargai itu.." La Traviata memeluk Mayangsari. Untuk sesaat Mayangsari membeku - ia benci dipeluk demikian oleh seorang 'musuh'. Beberapa detik kemudian, Mayangsari mengangkat lengannya, membalas pelukan La Traviata dengan terpaksa.

Dalam pikiran Mayangsari, bermunculanlah sejuta rencana. Untuk membalaskan dendamnya.

[cukup nggak, buat nambah-nambah panjang doang? hihihi]

0 comments






Bab 11> Yang Nggak Nambah Apa-Apa ke Cerita Keseluruhan, Cuma Bikin Panjang Doang
oleh Dodol Surodol pada 9:49 AM

"Apa mau kedua lelaki tadi?" Bon Avatar bertanya kepada istrinya, sambil mengeringkan gelas-gelas.

"Apa pedulimu?" jawab La Traviata ketus. Perasaannya masih berkecamuk selepas perjumpaan yang tak terduga dengan cinta lamanya. Perempuan itu duduk di dekat jendela, memandang keluar seperti melamun.

Bon Avatar meletakkan gelas di tangannya dengan keras ke atas meja. "Aku suamimu! Aku berhak tahu urusan istriku dengan lelaki lain!"

La Traviata menatap suaminya dengan amused. [sebel ih, nggak nemu padanannya yang enak!] "Hakmu hilang seiring dengan nyalimu. Katakan padaku, pernahkah kau melindungi aku -- istrimu -- dari apapun? Pernah?"

Lelaki itu menggerutu. Ia sadar ia tidak akan pernah menang berargumentasi dengan istrinya. Perempuan itu benar, hak datang dan pergi bersama kewajiban.

La Traviata mendengus. "Sudah kukira!"

Beberapa saat kemudian Bon Avatar mencoba lagi, "Kau harus berhati-hati. Mereka sepertinya bukan orang sembarangan. Ada yang berbeda."

"Perubahan yang bagus dari bajak laut tak tahu aturan dan para pembual besar yang selama ini ditemukan di sini."

"Aku cemas akan keselamatanmu, La." Melihat pandangan istrinya, Bon Avatar cepat-cepat menambahkan, "Aku tahu, kau lebih dari mampu untuk menjaga diri. Tapi kedua orang itu... Ke mana kau membawa mereka tadi?"

"Mayangsari."

Hanya ada satu alasan untuk menemui Mayangsari. Ada yang terluka dan perlu perawatan. "Nah, benar bukan kataku! Kedua laki-laki itu hanyalah masalah!" Bon Avatar menyipitkan matanya. "Sudah beberapa kali kukatakan, kau harus berhati-hati terhadap perempuan itu. Dia membencimu, kau tahu?"

La Traviata tertawa sinis. "Karena aku merebutmu darinya?"

Bon Avatar tersenyum pongah. Tidak banyak dari kebanggaannya yang tersisa akhir-akhir ini. Mengingat-ingat betapa dua perempuan cantik itu memperebutkannya sungguh merupakan kepuasan tersendiri.

"Gadis-gadis muda melakukan kesalahan bodoh," kata La Traviata. "Sudah, aku lelah. Aku mau tidur." Ia bangkit dan berjalan ke tangga.

"Jangan bilang aku tidak pernah memperingatkanmu," tukas suaminya. "Ingat, melindungi tidak harus dengan berkelahi!"

Tanpa menjawab, La Traviata pergi ke kamarnya. Sebenarnya ia sedikit menyesal karena kehilangan kesabarannya dengan Bon Avatar. Memang lelaki itu pembual besar yang tak bernyali. Namun La Traviata merasa sebagian dari yang terjadi adalah kesalahannya sendiri. Seandainya ia dulu tidak terburu-buru dalam menentukan pilihan. Seandainya ia memberi dirinya sendiri sedikit lebih banyak waktu untuk mengenal pria yang di mata remajanya terlihat sempurna.

Perasaan bertanggung jawab itulah yang membuat perempuan itu bertahan dalam perkawinannya. Guiseppe Verdi mungkin adalah salah satu bajak laut terkejam pada masanya, namun ia banyak memberikan nasihat yang berguna kepada putri satu-satunya. "Setiap manusia memiliki pilihan," demikian ia pernah berkata. "Bahkan ketika engkau pada akhirnya memutuskan untuk tidak memilih, itu adalah pilihan yang kau ambil. Oleh karena itu, setiap manusia bertanggung jawab atas pilihannya sendiri."

Percakapan itu terjadi di atas sebuah dek kapal dagang Spanyol yang baru saja ditaklukkan oleh Verdi dan orang-orangnya. Pelayaran pertama La Traviata bersama para bajak laut untuk merampok. Seperti biasa, orang-orang Verdi telah mengumpulkan semua awak kapal yang tersisa, siap untuk dieksekusi. Setelah beberapa saat, hanya sang kapten yang masih hidup, berlutut di kaki Guiseppe Verdi. Kapten kapal itu adalah seorang pelaut sejati yang tak sudi menunjukkan rasa takut dan ia dengan gagah berani menatap sang bajak laut, menolak untuk menundukkan kepala.

La Traviata memohon ayah angkatnya untuk mengampuni pria itu. Guiseppe Verdi menjawabnya dengan nasihat di atas. "Lihatlah kapten ini," kata bajak laut itu. "Ia memilih untuk berlayar di daerah kekuasaanku -- daerah kekuasaan kita. Ia memilih untuk menjadi seorang pelaut, dengan segala risikonya. Ia memilih..." Guiseppe Verdi mengangkat pedangnya, "...ia bertanggung jawab."

La Traviata remaja memalingkan muka dan nasihat itu tertanam terus di benaknya.

"Bon," gumam perempuan itu, "mengapa kau tidak bisa sedikit lebih bernyali? Kapan kau akan belajar bahwa menyesali yang telah terjadi itu tidak pernah ada gunanya? Banyak orang yang bernasib jauh lebih buruk daripadamu dan mereka tidak membiarkan kehidupan mereka berhenti."

Orang-orang seperti Joe Kaki Kayu. Pagi itu La Traviata mengerti alasan sesungguhnya dari kepergian Joe yang tiba-tiba sepuluh tahun lalu. Selama ini perempuan itu menyangka pria itu tak lebih dari seorang bajak laut biasa yang tiba-tiba bosan bersama satu wanita saja dan memutuskan untuk pergi. Tak lebih dari seorang pengecut yang tidak berani berkata terus terang dan memilih untuk kabur diam-diam.

"Bedebah kau, Joe!" La Traviata mengutuki lelaki itu. "Mengapa kau harus menunggu demikian lama? Mengapa kau membiarkan perbedaan di antara kita menang? Mengapa kau membiarkanku membencimu selama ini?"

Satu hal yang jelas, Joe Kaki Kayu telah membuat pilihannya dan ia bertanggung jawab akan pilihannya itu. Sebagaimana ia kini telah memilih untuk menemui La Traviata setelah sekian lama dan mempercayai mantan kekasihnya itu dengan sebuah rencana rahasia yang penuh risiko.

2 comments






Bab 10> Mayangsari Van Mooi Hindie.
oleh mamamolilo pada 5:07 PM

Alkisah, kapal yang dinakhodai oleh Remco Van Danoe seorang pedagang kaya raya dari Belanda merapat di pelabuhan utama pantai timur Mooi Hindie. Dalam persinggahannya itu ia jatuh hati pada Sri Rejeki, seorang penari terkenal yang sering dipanggil jika ada tamu-tamu khusus dari Eropa. Dengan bulat, Remco memutuskan untuk menetap, agar dapat terus menerus berdekatan dengan penari pujaannya. Mereka menikah, mendirikan usaha penjualan onderdeel kapal - setahun kemudian, lahirlah seorang bayi perempuan yang diberi nama Mayangsari. Zij bent een erg mooi meisje.

Sejak kecil, sang ibu telah melihat keistimewaan pada putri satu-satunya ini. Mayangsari memiliki kemampuan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Awalnya gara-gara sang ibu melihat Mayangsari berhasil menyembuhkan kucingnya yang keracunan, lalu berlanjut dengan menyembuhkan mahluk-mahluk hidup lain sampai akhirnya, sampai menyembuhkan penyakit dan luka-luka yang diderita masyarakat sekitar.

Singkat kata, Mayangsari benar-benar tumbuh menjadi gadis yang sangat jelita dan memiliki kemampuan istimewa. Perpaduan keindahan fisik Asia dan Timur yang mempesona serta keahlian menyembuhkan, membuatnya terkenal. Banyak orang, terutama laki-laki memujanya. Sayang sekali, itu membuat Mayangsari terlalu bangga dan sedikit pongah.

Berungkali ia mencampakkan laki-laki yang berusaha mendekati.Ia sama sekali tidak pernah mengenal apa itu cinta, bagaimana rasanya dicintai dan mencintai.

Sampai suatu saat, ia bertemu dengan Bon Avatar, seorang pelaut dari Kerajaan Keimin Nippon yang terdampar dengan luka yang mengenaskan, akibat diserang oleh bajak laut saat menuju Mooi Hindie untuk berdagang.

Selama beberapa hari, Bon Avatar dirawat di kediaman Mayangsari. Dan selama itu pula, entah bagaimana, Mayangsari merasakan getar-getar aneh yang menggelitiki perutnya, setiap ia berdekatan dengan Bon Avatar. Seperti ada sayap kupu-kupu yang mengepak dan menggeletar di sana.

Bon Avatar, di mata Mayangsari, begitu berbeda dengan pria-pria yang pernah mendekatinya. Ia sama sekali tidak memuja gadis itu sebegitu rupa; dan memang pada kenyataannya, Bon Avatar terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri ; tentang kapalnya yang hancur berkeping-keping di tengah samudra, tentang bagaimana cara ia kembali tanpa diamuk oleh rajanya, tentang segala hal.

Dengan banyak pertimbangan, Bon Avatar memutuskan untuk tinggal di Mooi Hindie - mengerjakan pekerjaan apa pun yang bisa ia lakukan untuk menyambung hidup. Bon Avatar adalah pekerja keras.

Itu membuat Mayangsari semakin jatuh cinta padanya, walaupun pada saat itu, kepribadian Bon Avatar berubah total, akibat depresi yang dialaminya. Tidak ada sedikit hal pun yang mampu meluruhkan cinta Mayangsari pada Bon Avatar, pun tidak peringatan keras dari Remco, sang ayah.

Berulang kali, Mayangsari dan Remco terlibat pertentangan keras, tentang Bon Avatar.

"Meisje! Kunt jij mij helpen? Jangan dekat-dekat dengan Bon Avatar! Ia hanya seorang pelaut gagal."
"Tapi ayah, saya mencintainya.."
"Bent jij gek? apakah kamu mau menghabiskan sisa hidupmu melarat dengannya?"
"Ayah, saya mencintainya.."
"Argh, Mijn dochter bent gek! Erg Gek!" Remco histeris.

Cinta Mayangsari pada Bon Avatar tidak pudar, dengan sabar ia mendampingi Bon Avatar menata kembali kehidupannya yang hancur berantakan. Ia ada saat Bon Avatar mulai merintis usaha rumah makan, ia ada saat Bon Avatar menghujat dunia, ia ada saat Bon Avatar menemukan bangkai kapal tua yang pada akhirnya dijadikan sebuah rumah makan besar...

Mayangsari selalu ada di sana, di samping Bon Avatar, walaupun Bon Avatar tidak pernah menganggapnya ada. Satu-satunya alasan Bon Avatar membiarkan Mayangsari berada dekatnya tidak lebih hanya sebagai ucapan terima kasih atas pertolongan Mayangsari ketika ia terluka.

Ditolaknya semua laki-laki yang mungkin jauh lebih baik, bahkan ia tidak bergeming, ketika Raden Bambang Trihatmodjo, seorang rekan kerja ayahnya, seorang bangsawan, mengaku tergila-gila padanya dan bersedia melakukan apa pun untuk membuat Mayangsari mau menikahinya.

ini berlangsung sampai suatu saat, kapal Guiseppe Verdi merapat di pantai timur Mooi Hindie.

Baru kali itu, Mayangsari melihat tatapan kosong Bon Avatar berubah berbinar-binar, ketika melihat La Traviata, anak angkat Guiseppe Verdi.

Hancur hati Mayangsari, apalagi ketika melihat ternyata Bon Avatar jatuh cinta pada La Traviata; lalu memutuskan menikah dengannya. Dengan sepenuh hati, Mayangsari menyimpan bencinya pada La Traviata.

Gadis itu kemudian memutuskan untuk menikah dengan Raden Bambang Trihatmodjo, sambil berusaha untuk tetap berbaik-baik pada La Traviata, berpura-pura bersikap sebagai sahabatnya di saat suka dan duka.; Ia akan memuntahkan balas dendamnya - di saat yang paling tepat. Entah kapan.

...

"Mayang, ini Joe." Pagi-pagi sekali, La Traviata muncul di beranda rumah Mayangsari. Di belakangnya terlihat dua sosok laki-laki; yang diperkenalkan sebagai Joe dan Pippi, teman lamanya.

La Traviata bercerita bahwa ada seorang laki-laki, pemimpin dua laki-laki itu sedang terluka parah; di Pulau Api.

5 comments






Bab 9> Yang Joe Ketemu La Traviata
oleh Dodol Surodol pada 12:18 PM

Penakluk Samudra bagaikan keluar dari sebuah lukisan, bermandikan cahaya keemasan matahari pagi. Di belakangnya langit luas menyemburkan campuran warna yang akan membuat malu pelukis paling hebat sekalipun. Lautan membentang bak cermin jiwa sang langit pagi, menandingi setiap berkas warna cemerlang yang dilontarkan kepadanya; siapa bilang air laut berwarna biru?

La Traviata berhenti beberapa puluh meter dari kapal tempat tinggalnya itu. Ratusan kali sudah ia melihat pemandangan yang kini terpampang di depannya. Ratusan kali pula ia mendesah takjub dan dengan rakus mereguk segala keindahan itu, seakan-akan takut setiap saat Sang Alam akan mengambil semuanya kembali.

"Il Delfina."

La Traviata menoleh cepat. Panggilan itu terakhir didengarnya hampir sepuluh tahun yang lalu. Hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan nama itu.

Dua orang lelaki berjalan mendatanginya. Seorang pria berkulit hitam bertubuh tinggi besar dengan pedang di pinggang. Di sebelahnya seorang pria lain, bertubuh kecil dan mengenakan tutup kepala khas bajak laut, berjalan tersaruk menyeret kaki kirinya yang terbuat dari kayu. La Traviata tertegun. Hanya ada satu orang...

Kedua pria itu tiba di hadapannya. Pria berkulit hitam mengangguk sopan -- sesuatu yang sangat jarang ditemui di kalangan perompak. Pria berkaki kayu berdiri terpaku, seolah-olah tidak tahu hendak berbuat apa. Beberapa saat lamanya ia dan La Traviata saling bertatapan tanpa gerakan apapun.

La Traviata maju selangkah dan mendaratkan sebuah tamparan keras di pipi lelaki itu, yang menerimanya tanpa berkedip. "Kau! Berani-beraninya kau menampakkan mukamu di sini!"

Pippi menggaruk kepalanya dan mengambil beberapa langkah mundur. Joe Kaki Kayu memandang perempuan di hadapannya dengan berbagi perasaan bercampur menjadi satu. Ia ingin meminta maaf. Ia hendak marah. Ia hampir saja berpaling dan pergi.

Ia meraih tangan La Traviata dan memeluk wanita itu, yang balas memeluknya dengan penuh kehangatan. Joe Kaki Kayu membenamkan pipinya dalam kelebatan rambut La Traviata, aroma dari sepuluh tahun lalu memasuki hidungnya.

"Joe, kau bajak laut jahanam!"

"Delfina. Aku rindu padamu."

"Oh, Joe."

Selama beberapa saat mereka berdiam diri dalam pelukan, menikmati kedekatan yang lain. Akhirnya Joe melepaskan diri. "Aku perlu bantuanmu, La."

La Traviata mengangguk, berpaling, dan berjalan menuju Penakluk Samudra. Joe menahan keinginannya untuk menggandeng lengan perempuan itu; ia berjalan beberapa langkah di belakang. Pippi berjalan di sisinya.

Bon Avatar memandang kedua tamunya dengan tidak suka. Kedua pria ini berbeda dengan kebanyakan bajak laut, dan itu itu membuatnya sedikit takut. Ia tidak beranjak dari tempat duduknya di ujung ruangan, hanya memperhatikan istrinya menyilakan keduanya duduk di ujung satunya.

La Traviata mengambil tempat di depan kedua tamunya. "Jadi?"

Joe melirik curiga ke arah Bon Avatar, yang berpura-pura tidak peduli. "Aku tidak percaya suamimu."

La Traviata mengibaskan tangan. "Jangan hiraukan Avatar. Mulutnya besar tapi ia bagaikan anjing yang ramai menggonggong tanpa menggigit."

"Jenis seperti itu yang kutakutkan." Joe Kaki Kayu mencondongkan badan ke depan dan mulai menguraikan rencananya.

.....

Tyo Mata Satu mengalami demam yang parah. Suhu badannya sungguh tinggi dan tubuhnya tak henti-hentinya menggigil. Matanya membuka dan menutup tanpa sadar. Tangan dan kakinya gemetar. Tak henti-hentinya ia mengigau.

Julian Delifrance memandang kaptennya dengan iba. Ia telah berbuat semampunya: menyelimuti tubuh Tyo rapat-rapat, memberinya minum, mengganti balutan di pundak dan pahanya, dan meletakkan kain basah di dahinya untuk meredakan panas. Julo tahu, seandainya situasinya berbalik, Tyo akan melakukan hal yang sama untuknya. Tyo Mata Satu lebih dari sekedar pemimpin bagi kelompoknya; ia adalah seorang sahabat dan pelindung.

Sebuah gerakan di luar pondok menarik perhatian Julo. Pria Prancis itu meraih pistol dan mengarahkannya ke pintu masuk. Pintu perlahan membuka.

Joe Kaki Kayu masuk, diikuti oleh Pippi dan seorang perempuan muda yang tidak dikenalnya.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Joe. Julo mengangkat bahu dan dengan gerakan tangan mengindikasikan bahwa tidak banyak perubahan. Joe berdiri di samping sahabatnya. Tyo terus mengigau, mengeluarkan kata-kata tidak jelas. Joe Kaki Kayu menoleh dan memandang gadis yang datang bersamanya.

Perempuan itu berjalan ke dekat dipan dan duduk di tepinya. Dari tas yang dibawanya, ia mengeluarkan beberapa peralatan pengobatan, termasuk kain pembalut dan beberapa botol kecil berisi ramuan. Tanpa berkata apa-apa, ia menyingkapkan selimut Tyo dan mulai membuka pembalut luka-lukanya. Kain baru yang bersih dituanginya dengan obat dari dalam botol-botol kecil dan dibalutkannya di atas pundak dan paha sang bajak laut.

"Pergilah tidur, Julo. Biar aku dan Pippi berjaga. Akan kubangunkan kau siang nanti," kata Joe. Julo mengangguk dan berjalan keluar, diikuti oleh Pippi.

Beberapa saat berlalu tanpa ada yang bersuara. Joe berdiri di sebelah dipan, memperhatikan perempuan itu merawat Tyo Mata Satu. Dari gerakannya yang penuh kepercayaan diri, Joe dapat melihat bahwa ia sungguh berpengalaman menangani situasi sejenis.

Akhirnya demam Tyo terlihat mereda. Matanya tidak lagi membuka dan menutup dan ia telah berhenti mengigau. Gadis itu merapatkan selimut dan mendongak. "Panasnya masih sangat tinggi. Biarlah dia beristirahat. Kalau sampai nanti sore keadaannya belum berubah, terpaksa kita bawa dia ke Bantul. Ada seorang pria di sana yang mempelajari ilmu penyembuhan. Dengan upah secukupnya, dia pasti bersedia menolong."

Joe mengangguk. Ia mengulurkan tangan dan membantu sang gadis berdiri. "Terima kasih atas bantuanmu."

Perempuan muda itu tersenyum. "La Traviata bagaikan kakakku sendiri. Temannya adalah temanku juga."

Mereka keluar dari pondok.

1 comments






Ilustrasi 1 > Tyo Mata Satu & La Traviata
oleh mamamolilo pada 9:20 PM



Bikinnya pakai Doodle, hargailah :D

1 comments






Bab 8> Antara Tyo Mata Satu dan Bon Avatar
oleh mamamolilo pada 12:34 PM

Joe kaki kayu berdiri terpekur di hadapan pintu kayu Penakluk Samudra Seafood.

Ia, walaupun secara fisik telah berjauhan dengan La Traviata, tapi tidak henti-hentinya berusaha mengikuti apa yang dilakukan gadis yang dicintainya itu.

Ia tahu, setelah terusir dari kapal yang mempertemukannya dengan La Traviata, Giuseppe Verdi dan awaknya singgah di pantai timur Mooi Hindie. Ia juga tahu, pada persinggahannya, La Traviata yang masih belia dan naif itu kemudian terpesona pada Bon Avatar dan memutuskan untuk tinggal.

Bon Avatar. Nama yang tidak pernah tercatat dalam kancah perbajaklautan. Tapi dari informasi yang diperoleh Joe, ia juga tahu bahwa Bon Avatar tidak lebih hanya seorang pembual.

Ia juga tahu, La Traviata menyesali keputusannya dan ingin kembali ke laut, ke tempat di mana seharusnya ia berada.

Ia mengangkat lengannya, hendak mendorong pintu, tapi sejurus kemudian, keraguan memenuhi hatinya.

Apakah La Traviata masih mengenalinya?
Jika masih... apakah perasaan La Traviata padanya masih sama?
Bagaimana jika tidak...?
Bagaimana jika...


Sejuta pertanyaan 'bagaimana jika?' bermain-main dengan jahil dalam benaknya. Ia menurunkan lengan, menoleh pada Pippi yang sedang mengamatinya lekat-lekat.

"Aku harus bagaimana?" tanya Joe Kaki Kayu.

Pippi, dengan gerakan mulut dan pandangannya, berkata bahwa Joe harus berani. Joe kembali menghadap pintu, hendak mendorongnya.

Tapi lagi, pertanyaan bagaimana jika itu mengganggunya. Ia menoleh lagi pada Pippi

(ini udah mirip sinetron Indonesia belum, sih Dol, dilama-lama? hiahaha..)

Karena kesal melihat sikap Joe yang penuh keraguan, Pippi mendahului Joe, mendorong pintu kayu dan masuk ke dalam ruangan. Mau tidak mau Joe mengikuti.

Mereka berdua berdiri di ambang pintu dan mengamati keadaan ruangan. Lantai kayu, dinding kayu, yang tampak bersih, perabotan-perabotan kayu, semua berderet-deret dengan rapi.

Di salah satu meja di sudut, ia melihat sosok yang sedang tertidur.

Bon Avatarkah itu?

Tubuh laki-laki tertidur itu kurus, rambutnya agak botak.

Joe memandang laki-laki itu lama, sampai tiba-tiba ia bergerak-gerak. Ia terbangun.

"HAH? SIAPA KALIAN?" tanya laki-laki itu, ketika melihat dua sosok asing sedang berdiri di ambang pintu restorannya. Baru kali ini Joe melihat wajah Bon Avatar dengan jelas.

pipinya cekung, hidungnya tajam melengkung, kulitnya hitam,giginya tidak rapih. Wajah itu menguarkan sinar sinis dan sombong.

Oh jadi ini, laki-laki yang dinikahi La Traviata..

.....

La Traviata berusaha menajamkan penglihatannya. Ia ragu akan cahaya lentera itu. Sudah sejak bertahun-tahun yang lalu, sejak pertama kali ia menemukan tempat rahasia ini, tidak sekalipun La Traviata melihat tanda-tanda kehidupan di sana.

Pagi semakin menjelang. lentera itu makin pudar cahayanya.

Semburat jingga di langit menandakan bahwa matahari hampir terbit. Seperti tinta jingga yang merembes pada kertas hisap biru tua, semakin lama sinar jingga tersebut memenuhi langit.

Matahari telah terbit.

Sekali lagi, La Traviata memandang ke arah Pulau Api. Tidak terlihat lagi cahaya kecil dari lentera yang dilihatnya.

La Traviata memutuskan bahwa ia salah lihat. Mungkin akibat terlalu lelah.

Ia bangkit dari duduknya, tersaruk-saruk dan dengan malas-malasan berjalan menuju Penakluk Samudra.

1 comments






Bab 7> Yang Joe Kaki Kayu Mengenang Kisah Cintanya
oleh Dodol Surodol pada 9:41 AM

Pantai timur Mooi Hindie. Pippi dan Joe Kaki Kayu berjalan melewati jalan utama Desa Bantul [sebuah tribut --red], yang terkenal sebagai pemukiman bajak laut. Segala sesuatu di desa ini berhubungan dengan kaum perompak. Tempat minum-minum yang buka sepanjang malam, rumah bordil yang buka sepanjang siang dan malam, toko-toko pandai besi dan senjata, dan kedai-kedai perbekalan kapal.

Pippi menyentuh pundak Joe dan menggerak-gerakkan tangannya ke sekitar.

"Menemui teman lama," jawab Joe singkat.

Mereka tiba di sebuah kapal tua di pantai. Kapal besar itu telah dipugar dan kini telah disulap menjadi sebuah restoran. Pippi membuka mulut dan mengangguk-anggukkan kepala.

"Memang ide yang bagus," kata Joe, setuju. "Kudengar tempat ini biasanya selalu ramai. Entah mengapa malam ini mereka tutup lebih awal."

Kapal tua itu nampak gelap, dengan hanya cahaya suram terlihat di balik salah satu jendela kabin. Joe Kaki Kayu berhenti melangkah beberapa meter dari tangga yang menuju ke pintu restoran. Ia ragu-ragu. Pippi bertanya lewat gerakan tangan.

"Sudah lama aku tidak melihatnya," kata Joe. Pippi mengeluarkan suara teredam dari balik tenggorokan. Joe tertawa. "Cerita lama. Kau tak mau mendengarnya. Membosankan."

Pippi mengangkat bahu. Bukan urusannya.

Yang tidak diceritakan oleh Joe adalah kisah cintanya bersama seorang gadis remaja, kira-kira sepuluh tahun yang lalu. La Traviata. Nama itu tidak akan pernah hilang dari ingatannya. Hingga saat ini hanya dia seoranglah yang pernah mencuri hati Joe Kaki Kayu.

Beberapa tahun sebelum perjumpaan mereka, Joe adalah seorang tahanan kerajaan Inggris. Karena berkelakuan baik, ia diizinkan berlayar sebagai budak di atas sebuah kapal niaga yang dimiliki secara pribadi oleh seorang hakim Inggris. Kapten kapal itu sangat terkesan akan kemampuan navigasi Joe, yang jauh di atas orang-orang kepercayaannya sendiri. Akhirnya ia memberikan kepercayaan kepada Joe sang budak untuk menjadi orang kedua di kapalnya dalam perkara mengemudikan kapal, walaupun masih di bawah pengawasan yang ketat.

Joe, dengan kedua kaki yang masih utuh, memanfaatkan kepercayaan sang kapten dan sebelum lama penjagaan terhadapnya pun tinggal formalitas. Ia mulai diterima sebagai salah satu dari awak kapal dan bukan lagi sebagai budak. Namun demikian, Joe tidak merasa bahagia. Ia ingin bisa berlayar kembali bersama Tyo, orang kedua yang dipercayainya secara penuh -- setelah dirinya sendiri.

Suatu hari, Joe terlibat dalam argumen dengan kaptennya. Kapten Manchester ingin mengambil jalan pintas untuk menghemat bahan bakar dan biaya. Joe tidak setuju. Ia memperingatkan sang kapten bahwa jalan pintas itu akan membawa mereka melewati daerah kekuasaan Giuseppe Verdi, bajak laut Italia yang terkenal dengan reputasinya yang tidak pernah membiarkan seorang pun di antara korban-korbannya tetap hidup. Manchester merasa resiko itu cukup pantas untuk diambil, mengingat Verdi sudah lama tidak terdengar beritanya. Akhirnya Joe mengangkat bahu dan membiarkan kaptennya menang.

Memasuki daerah kekuasaan Giuseppe Verdi, Joe mulai mendapatkan firasat buruk. Ia meminta Manchester untuk mengganti arah kapal namun sang kapten menertawakannya. Yakin akan firasatnya, Joe diam-diam menyiapkan sebuah rencana. Ia membuat tempat persembunyian di dalam salah satu dinding gudang kapal.

Firasat Joe menjadi kenyataan. Verdi, yang telah lama tidak terdengar kabarnya, tiba-tiba muncul dengan kekuatan penuh. Kedua kapalnya siap tempur, para awaknya haus darah. Joe menggelengkan kepala, tidak sudi mati demi mereka yang telah memperbudaknya, dan menghilang ke dalam tempat persembunyiannya.

Dari balik dinding, Joe dapat melihat kekacauan yang terjadi di luar melalui sebuah lubang. Anak buah Verdi dengan mudah dapat menguasai kapal. Setelah mengosongkan gudang kapal dan mengumpulkan barang-barang berharga yang dapat ditemukan, para bajak laut itu pun memulai ritual mereka: mengeksekusi semua awak kapal korban, dimulai dengan Kapten Manchester.

Dari tempatnya di gudang, Joe mendengarkan suara kekejaman yang berlangsung di geladak kapal. Joe tidak peduli akan nasib mereka yang pernah berlayar bersamanya -- mereka bukanlah teman-temannya. Ketika jeritan mereka memenuhi udara, Joe menyusun rencana untuk melarikan diri dari kapal setelah para bajak laut itu pergi. Ia mengharapkan mereka akan membakar kapal. Bila itu terjadi, Joe telah menyiapkan sebuah sekoci dengan perbekalan secukupnya. Dengan keberuntungan, ia dapat keluar dari kemelut ini hidup-hidup.

Tiba-tiba seseorang memasuki gudang. Seorang gadis yang sepertinya tidak lebih tua dari 17 tahun. Joe mengerutkan kening. Apa yang dilakukan seorang gadis remaja bersama para bajak laut bengis seperti anak buah Giuseppe Verdi? Gadis itu berdiri diam di dalam gudang, memeriksa barang-barang yang tersisa tanpa terlihat benar-benar berminat, hanya sekedar melewatkan waktu.

Pada saat itu, Joe melihat sebuah peti yang ada di atas rak kira-kira dua meter dari lantai, tepat di atas sang gadis. Peti itu telah tergeser hingga ke tepi rak dan bergoyang-goyang. Gadis di depannya sama sekali tidak menyadarinya.

"Gadis tolol," gumam Joe. "Menyingkir dari situ." Remaja itu malah menyandarkan punggung di dinding, tepat di bawah peti berat yang hendak jatuh.

Tanpa berpikir, Joe mendobrak dinding persembunyiannya dan melompat ke arah sang gadis. "Awas!" teriaknya.

La Traviata sedang berusaha keras memusatkan pikirannya pada apapun selain pembantaian yang berlangsung di geladak. Ia membenci pembunuhan atas mereka yang tidak berdaya. Tiba-tiba dinding di hadapannya terbuka dan seorang pria menerjang ke arahnya. Gadis itu meraih pedang yang berada di pinggangnya, namun tidak sempat bereaksi lebih jauh.

Tepat pada saat itu peti di atas rak terjatuh. Joe menangkap kedua pundak La Traviata dan secara refleks menggulingkan diri, membawa gadis itu jatuh bersamanya.

BRAAAKKK!!!

Joe memekik kesakitan. Peti berat itu menimpa kaki kirinya. La Traviata, selamat dan setengah tertindih oleh pria itu, mendorongnya dan beringsut menjauh. Gadis itu menghunus pedang, tidak tahu apa yang harus diperbuat.

Giuseppe Verdi menyerbu masuk, diikuti oleh dua orang anak buahnya. "Bambina! Kau tidak apa-apa? Siapa orang ini?"

Tidak ada keragu-raguan tentang identitas Joe. Pria itu mengenakan pakaian seperti yang dipakai para awak lainnya di kapal dagang itu -- para awak kapal yang kini tidak bersisa lagi.

"Keparat!" Verdi mengangkat pedang di tangannya, siap menebas leher Joe.

"Ayah!" seruan La Traviata menghentikan gerakannya di udara. "Ayah, Pria ini menyelamatkanku."

"Apa?" Verdi menahan pedangnya beberapa senti dari leher Joe. "Dia salah satu dari mereka."

Putrinya menunjuk peti yang menindih kaki Joe. "Ia menyelamatkanku dari peti itu." Semua yang ada di ruangan itu melihat ke arah peti dan kemudian ke kaki Joe.

Joe berusaha melupakan kakinya yang remuk dan berbicara setenang mungkin. "Aku bukan salah satu dari mereka. Aku hanyalah budak di kapal ini, seorang tahanan." Ia menunjukkan tangan kirinya. "Ini, lihatlah cap ini." Beberapa senti dari pergelangannya nampak jelas sebuah tanda yang dibuat dengan besi panas -- cap untuk menandai para budak dan tahanan.

"Ayah," La Traviata mengulangi, "dia menyelamatkanku."

Setelah beberapa saat, Verdi menggerutu dan menyarungkan pedangnya.

Sejak pertemuan di kapal nahas itu, Joe berlayar bersama orang-orang Giuseppe Verdi dan pada saat bersamaan, memadu kasih dengan putri sang bajak laut. Verdi, bajak laut Italia yang tak kenal belas kasihan, merestui hubungan mereka.

Sampai suatu hari salah seorang bajak laut yang baru bergabung dengan awak Verdi mengenali Joe. "Kau adalah sahabat Tyo Mata Satu."

Giuseppe Verdi dan Tyo Mata Satu saling membenci. Beberapa kali nasib mereka bersilangan, meskipun tidak pernah bertemu langsung. Tyo pernah mendahului Verdi merampok sebuah kapal yang mengangkut permata kerajaan Belanda. Beberapa waktu kemudian, Verdi membalas dengan menguras gudang senjata yang hendak diserbu Tyo.

"Bedebah!" serta-merta bajak laut Italia itu mengacungkan pistol dan meletakkan moncongnya di dada Joe. "Benarkah, Joe?"

Joe mengangguk. Ia tidak akan mengkhianati persahabatannya dengan Tyo apapun yang terjadi. Giuseppe Verdi menamparnya dengan keras. "Pergi kau! Jangan pernah tunjukkan hidungmu di depanku lagi! Kalau saja kau tidak menyelamatkan il mio bambina, sudah kubunuh kau saat ini. Dan jangan kau berani menemui La Traviata lagi!"

Tanpa berkata apa-apa dan tanpa berkemas lagi, Joe menyeret kaki kayunya dan pergi meninggalkan Giuseppe Verdi dan orang-orangnya. Keluar dari kehidupan La Traviata tanpa pernah mengucapkan selamat tinggal. Ia bergabung kembali dengan Tyo Mata Satu dan tidak pernah lagi melihat satu-satunya gadis yang pernah dicintainya.

Dan kini, satu dekade kemudian, ia berdiri beberapa langkah dari pintu rumah perempuan itu, tidak terlalu yakin bahwa keputusannya tepat.

Pippi melihat kegundahan sahabatnya dan meletakkan sebelah tangan di bahu Joe. Meskipun tidak sepenuhnya paham apa yang berkecamuk di pikiran Joe, pria bertubuh besar itu tersenyum dan mengangguk, memberikan dukungan moral.

Joe Kaki Kayu menghela nafas dan melangkahkan kaki palsunya.

2 comments