Powered by Blogger

Bab 7> Yang Joe Kaki Kayu Mengenang Kisah Cintanya
oleh Dodol Surodol pada 9:41 AM

Pantai timur Mooi Hindie. Pippi dan Joe Kaki Kayu berjalan melewati jalan utama Desa Bantul [sebuah tribut --red], yang terkenal sebagai pemukiman bajak laut. Segala sesuatu di desa ini berhubungan dengan kaum perompak. Tempat minum-minum yang buka sepanjang malam, rumah bordil yang buka sepanjang siang dan malam, toko-toko pandai besi dan senjata, dan kedai-kedai perbekalan kapal.

Pippi menyentuh pundak Joe dan menggerak-gerakkan tangannya ke sekitar.

"Menemui teman lama," jawab Joe singkat.

Mereka tiba di sebuah kapal tua di pantai. Kapal besar itu telah dipugar dan kini telah disulap menjadi sebuah restoran. Pippi membuka mulut dan mengangguk-anggukkan kepala.

"Memang ide yang bagus," kata Joe, setuju. "Kudengar tempat ini biasanya selalu ramai. Entah mengapa malam ini mereka tutup lebih awal."

Kapal tua itu nampak gelap, dengan hanya cahaya suram terlihat di balik salah satu jendela kabin. Joe Kaki Kayu berhenti melangkah beberapa meter dari tangga yang menuju ke pintu restoran. Ia ragu-ragu. Pippi bertanya lewat gerakan tangan.

"Sudah lama aku tidak melihatnya," kata Joe. Pippi mengeluarkan suara teredam dari balik tenggorokan. Joe tertawa. "Cerita lama. Kau tak mau mendengarnya. Membosankan."

Pippi mengangkat bahu. Bukan urusannya.

Yang tidak diceritakan oleh Joe adalah kisah cintanya bersama seorang gadis remaja, kira-kira sepuluh tahun yang lalu. La Traviata. Nama itu tidak akan pernah hilang dari ingatannya. Hingga saat ini hanya dia seoranglah yang pernah mencuri hati Joe Kaki Kayu.

Beberapa tahun sebelum perjumpaan mereka, Joe adalah seorang tahanan kerajaan Inggris. Karena berkelakuan baik, ia diizinkan berlayar sebagai budak di atas sebuah kapal niaga yang dimiliki secara pribadi oleh seorang hakim Inggris. Kapten kapal itu sangat terkesan akan kemampuan navigasi Joe, yang jauh di atas orang-orang kepercayaannya sendiri. Akhirnya ia memberikan kepercayaan kepada Joe sang budak untuk menjadi orang kedua di kapalnya dalam perkara mengemudikan kapal, walaupun masih di bawah pengawasan yang ketat.

Joe, dengan kedua kaki yang masih utuh, memanfaatkan kepercayaan sang kapten dan sebelum lama penjagaan terhadapnya pun tinggal formalitas. Ia mulai diterima sebagai salah satu dari awak kapal dan bukan lagi sebagai budak. Namun demikian, Joe tidak merasa bahagia. Ia ingin bisa berlayar kembali bersama Tyo, orang kedua yang dipercayainya secara penuh -- setelah dirinya sendiri.

Suatu hari, Joe terlibat dalam argumen dengan kaptennya. Kapten Manchester ingin mengambil jalan pintas untuk menghemat bahan bakar dan biaya. Joe tidak setuju. Ia memperingatkan sang kapten bahwa jalan pintas itu akan membawa mereka melewati daerah kekuasaan Giuseppe Verdi, bajak laut Italia yang terkenal dengan reputasinya yang tidak pernah membiarkan seorang pun di antara korban-korbannya tetap hidup. Manchester merasa resiko itu cukup pantas untuk diambil, mengingat Verdi sudah lama tidak terdengar beritanya. Akhirnya Joe mengangkat bahu dan membiarkan kaptennya menang.

Memasuki daerah kekuasaan Giuseppe Verdi, Joe mulai mendapatkan firasat buruk. Ia meminta Manchester untuk mengganti arah kapal namun sang kapten menertawakannya. Yakin akan firasatnya, Joe diam-diam menyiapkan sebuah rencana. Ia membuat tempat persembunyian di dalam salah satu dinding gudang kapal.

Firasat Joe menjadi kenyataan. Verdi, yang telah lama tidak terdengar kabarnya, tiba-tiba muncul dengan kekuatan penuh. Kedua kapalnya siap tempur, para awaknya haus darah. Joe menggelengkan kepala, tidak sudi mati demi mereka yang telah memperbudaknya, dan menghilang ke dalam tempat persembunyiannya.

Dari balik dinding, Joe dapat melihat kekacauan yang terjadi di luar melalui sebuah lubang. Anak buah Verdi dengan mudah dapat menguasai kapal. Setelah mengosongkan gudang kapal dan mengumpulkan barang-barang berharga yang dapat ditemukan, para bajak laut itu pun memulai ritual mereka: mengeksekusi semua awak kapal korban, dimulai dengan Kapten Manchester.

Dari tempatnya di gudang, Joe mendengarkan suara kekejaman yang berlangsung di geladak kapal. Joe tidak peduli akan nasib mereka yang pernah berlayar bersamanya -- mereka bukanlah teman-temannya. Ketika jeritan mereka memenuhi udara, Joe menyusun rencana untuk melarikan diri dari kapal setelah para bajak laut itu pergi. Ia mengharapkan mereka akan membakar kapal. Bila itu terjadi, Joe telah menyiapkan sebuah sekoci dengan perbekalan secukupnya. Dengan keberuntungan, ia dapat keluar dari kemelut ini hidup-hidup.

Tiba-tiba seseorang memasuki gudang. Seorang gadis yang sepertinya tidak lebih tua dari 17 tahun. Joe mengerutkan kening. Apa yang dilakukan seorang gadis remaja bersama para bajak laut bengis seperti anak buah Giuseppe Verdi? Gadis itu berdiri diam di dalam gudang, memeriksa barang-barang yang tersisa tanpa terlihat benar-benar berminat, hanya sekedar melewatkan waktu.

Pada saat itu, Joe melihat sebuah peti yang ada di atas rak kira-kira dua meter dari lantai, tepat di atas sang gadis. Peti itu telah tergeser hingga ke tepi rak dan bergoyang-goyang. Gadis di depannya sama sekali tidak menyadarinya.

"Gadis tolol," gumam Joe. "Menyingkir dari situ." Remaja itu malah menyandarkan punggung di dinding, tepat di bawah peti berat yang hendak jatuh.

Tanpa berpikir, Joe mendobrak dinding persembunyiannya dan melompat ke arah sang gadis. "Awas!" teriaknya.

La Traviata sedang berusaha keras memusatkan pikirannya pada apapun selain pembantaian yang berlangsung di geladak. Ia membenci pembunuhan atas mereka yang tidak berdaya. Tiba-tiba dinding di hadapannya terbuka dan seorang pria menerjang ke arahnya. Gadis itu meraih pedang yang berada di pinggangnya, namun tidak sempat bereaksi lebih jauh.

Tepat pada saat itu peti di atas rak terjatuh. Joe menangkap kedua pundak La Traviata dan secara refleks menggulingkan diri, membawa gadis itu jatuh bersamanya.

BRAAAKKK!!!

Joe memekik kesakitan. Peti berat itu menimpa kaki kirinya. La Traviata, selamat dan setengah tertindih oleh pria itu, mendorongnya dan beringsut menjauh. Gadis itu menghunus pedang, tidak tahu apa yang harus diperbuat.

Giuseppe Verdi menyerbu masuk, diikuti oleh dua orang anak buahnya. "Bambina! Kau tidak apa-apa? Siapa orang ini?"

Tidak ada keragu-raguan tentang identitas Joe. Pria itu mengenakan pakaian seperti yang dipakai para awak lainnya di kapal dagang itu -- para awak kapal yang kini tidak bersisa lagi.

"Keparat!" Verdi mengangkat pedang di tangannya, siap menebas leher Joe.

"Ayah!" seruan La Traviata menghentikan gerakannya di udara. "Ayah, Pria ini menyelamatkanku."

"Apa?" Verdi menahan pedangnya beberapa senti dari leher Joe. "Dia salah satu dari mereka."

Putrinya menunjuk peti yang menindih kaki Joe. "Ia menyelamatkanku dari peti itu." Semua yang ada di ruangan itu melihat ke arah peti dan kemudian ke kaki Joe.

Joe berusaha melupakan kakinya yang remuk dan berbicara setenang mungkin. "Aku bukan salah satu dari mereka. Aku hanyalah budak di kapal ini, seorang tahanan." Ia menunjukkan tangan kirinya. "Ini, lihatlah cap ini." Beberapa senti dari pergelangannya nampak jelas sebuah tanda yang dibuat dengan besi panas -- cap untuk menandai para budak dan tahanan.

"Ayah," La Traviata mengulangi, "dia menyelamatkanku."

Setelah beberapa saat, Verdi menggerutu dan menyarungkan pedangnya.

Sejak pertemuan di kapal nahas itu, Joe berlayar bersama orang-orang Giuseppe Verdi dan pada saat bersamaan, memadu kasih dengan putri sang bajak laut. Verdi, bajak laut Italia yang tak kenal belas kasihan, merestui hubungan mereka.

Sampai suatu hari salah seorang bajak laut yang baru bergabung dengan awak Verdi mengenali Joe. "Kau adalah sahabat Tyo Mata Satu."

Giuseppe Verdi dan Tyo Mata Satu saling membenci. Beberapa kali nasib mereka bersilangan, meskipun tidak pernah bertemu langsung. Tyo pernah mendahului Verdi merampok sebuah kapal yang mengangkut permata kerajaan Belanda. Beberapa waktu kemudian, Verdi membalas dengan menguras gudang senjata yang hendak diserbu Tyo.

"Bedebah!" serta-merta bajak laut Italia itu mengacungkan pistol dan meletakkan moncongnya di dada Joe. "Benarkah, Joe?"

Joe mengangguk. Ia tidak akan mengkhianati persahabatannya dengan Tyo apapun yang terjadi. Giuseppe Verdi menamparnya dengan keras. "Pergi kau! Jangan pernah tunjukkan hidungmu di depanku lagi! Kalau saja kau tidak menyelamatkan il mio bambina, sudah kubunuh kau saat ini. Dan jangan kau berani menemui La Traviata lagi!"

Tanpa berkata apa-apa dan tanpa berkemas lagi, Joe menyeret kaki kayunya dan pergi meninggalkan Giuseppe Verdi dan orang-orangnya. Keluar dari kehidupan La Traviata tanpa pernah mengucapkan selamat tinggal. Ia bergabung kembali dengan Tyo Mata Satu dan tidak pernah lagi melihat satu-satunya gadis yang pernah dicintainya.

Dan kini, satu dekade kemudian, ia berdiri beberapa langkah dari pintu rumah perempuan itu, tidak terlalu yakin bahwa keputusannya tepat.

Pippi melihat kegundahan sahabatnya dan meletakkan sebelah tangan di bahu Joe. Meskipun tidak sepenuhnya paham apa yang berkecamuk di pikiran Joe, pria bertubuh besar itu tersenyum dan mengangguk, memberikan dukungan moral.

Joe Kaki Kayu menghela nafas dan melangkahkan kaki palsunya.

2 comments

2 Comments:

Blogger mamamolilo said...

pertanyaan gue...
pisahnya di kapal, kok tau rumah La Traviata di situ?

12:27 PM  
Blogger Dodol Surodol said...

Kan cintanya selama bertaon-taon tidak mati gitu lho. Jadi dia maen detektif-detektifan, nyari tau keberadaannya.

12:59 PM  

Post a Comment

<< Home